PUISI-PUISI BODE RISWANDI
Bode Riswandi
BUAT ANNA POLITKOVSKAYA
Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, tentang
Nasib serta takdir mereka yang bermukim
Di lobang senjata
Di Chechnya kematian itu mudah tumbuh
Bagaikan rumput, katamu. Berlapis-lapis
Ketakutan menjalar di dinding dan di kanal
Aku menatap jauh ke langit kelabu, namun
Tidak sekelabu rambutmu yang menusuk
Banar peristiwa
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika jari
Lentikmu berdarah mencium aroma bangsa
Yang punah. Di jalan-jalan, di tenda-tenda
Salju turun lebih kerap dari hari sebelumnya
Tapi nama-nama yang terkuras air matanya
Lebih kerap dari sekedar salju itu, Anna
Aku bernyanyi untukmu, Anna. Ketika salju
Tak cukup memadamkan bara di tubuhmu
Ketika burung-burung terbang ke dasar waktu
Dan beratus pasang biji mata digiring ke arahmu
Salak anjing lari dari jiwa hutan, rasa dingin lari
Dari tubuh salju, dan warna senja lari dari langit
Kelabu. Lalu yang datang kepadamu, Anna
Mungkin rahasia atau kabar yang sederhana
2009
Bode Riswandi
DI VIETNAM CAMP
Banyak yang bercerita lewat angin, semacam dingin
Atau isyarat yang licin. Sepi serupa kembang muda
Yang tumbuh di ranting rahasia. Kuncup ia satu-satu
Lalu jatuh ke dasar tanah. Musim bisa cepat berganti
Di sini, tetapi kabut lebih cepat bertelur di barak ini
Jadi bayangan yang remah di rumput, atau jadi rindu
Yang dipahat di bangku katedral yang berlumut
Aku tak dapat melihatmu melambai dari jendela barak
Atau membaca bayanganmu dari serambi dan geladak
Aku cukup mengimbangi isyarat lain, membayangkan
Sebutir mata sipit dari segala arah membalut teriakan
Yang memanggil-manggil dari lubuk sejarah
Banyak yang bernyanyi di sini, semacam bunyi-bunyian
Juga siulan. Gerimis yang tiba kebetulan, serta bau aspal
Yang mengerak di jalan jadi bagian riwayat kemalangan
Tahun-tahun banyak terlewatkan. Hujan dan angin runtuh
Saling bersahutan. Kesepian tumbuh di plafon, senyapnya
Merambat pada akar pohon. Aku mendengar seruan pelesit
Di balik daun kamboja, suara-suara sepi yang dipantulkan
Angin di ujung gapura. Siapakah kamu?
Siapakah kamu? Aku bertanya pada dinding waktu
Pada keloneng genta yang ditarik seorang pendeta
Pada katedral dan barak-barak yang renta. Tak satupun
Jawaban datang kecuali gema suaraku yang terdengar
Nyaring berulang-ulang, kecuali bayang wajah-wajah
Pendatang dengan dada dan kakinya yang telanjang
Banyak yang mengintai di sini, angka-angka di nisan
Adalah misteri tersendiri. Dan bulu-bulu ilalang yang
Terhempas ke bumi adalah gema paling keras di sini
Aku hanya menunggumu datang menunjuk satu arah
Jalan pulang
2009
Bode Riswandi
PERNYATAAN
Jika dunia ini begitu cepat berputar, katamu
Aku mampu membenarkan ucapanmu
Kuhitung angka-angka yang melekat di usia
Kucabut seratus uban yang tumbuh di kepala
Aku ajak bicara segala mimpi yang membuat
Diri serasa muda. Semuanya selalu berujung
Di warna senja
Jika senja sering disekap penyair muda
Dalam puisi cinta juga balada, katamu
Aku mampu membuktikan pernyataan itu
Tanpa nafsu atau syahwat yang menggebu
Sebab aku bukanlah penyair yang mati muda
Yang mengharap hidup seribu tahun lamanya
Ketika tangis jadi bahasa yang sulit diterka
Aku adalah seseorang yang tak boleh lelah
Mencium aroma lekuk tubuhmu dan menanti
Pernyataan baru dari mulutmu. Jika malam
Yang sampai di ranjang jadi debu karena ditempa
Sungai eranganmu, seketika itu kau dan aku
Jadi orang lain dengan kecemasan masing-masing
Menunggu antara Gembira atau putus asakah
Yang selalu datang dengan tergesa
2009
Mari Menulis
KEMARAU GAIRAH MENULIS
DI KALANGAN MAHASISWA
Oleh Bode Riswandi
Kemalangan luar biasa ketika di beberapa surat kabar lokal pun non-lokal, (sedikit) tidak ada mahasiswa yang bergiat menulis. Padahal perguruan-perguruan tinggi menumpuk di Tasikmalaya. Apa gerangan yang terjadi di dunia permahasiswaan Tasikmalaya? Apakah ini semua disebabkan oleh virus budaya konsumtif yang telah memakubumi di benak mahasiswa. Jika benar betapa betahnya kaum inteligensia berkubang dalam kedangkalan.
Kebutuhan menulis bagi kaum inteligensia merupakan kebutuhan primer. Dengan menyadari posisinya sebagai penyeimbang gerakan sosial, serta sebagai individu yang bersiap di garda depan menghantam segala bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat yang mengatasnamakan rakyat, maka calon inteligensia perlu melakukan gerakan-gerakan guna menghantam penyimpangan itu. Tapi ingat gerakan yang murni. Tanpa mengandung unsur ketebelece dan embel-embel di belakangnya. Soe bilang, “kaum intelegensia yang berdiam diri di saat situasi sosial mulai tak terkendali, ia telah melunturkan nilai-nilai kemanusiaan”. Juga Edward W. Said mengatakan “dosa besar seorang intelektual adalah ketika ia tahu apa yang semestinya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereke yang berkuasa”.
Gerakan kaum intelegensia tak harus mengidentikan diri dengan melakukan long march ke jalan-jalan. Mengibarkan spanduk dan poster-poster yang berisi kecaman. Sehingga bahasanya lebih mudah akrab dengan bahasa pentungan, dan berakhir dengan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Sehingga pada akhirnya berujung saling menyalahkan, dan saling balik tuduh. Selalu saja demikian.
Cara-cara lain seperti katalog underground, opinion publik, polemik wacana dapat juga menjadi alternatif perjuangan kaum intelegensia. Cara ini selain juga dapat menyuarakan penuntutan keadilan, merupakan pula cara hemat mengukur kapasitas dan kualitas pribadi. Karena kaum intelegensia selalu memiliki perhitungan cukup matang ke arah sana.
Menyadari kemacetan gairah menulis yang menimpa kaum inteligensia ini, jika diidentifikasi adalah bagian dari faktor turun-temurun (guru, dosen, mentor, dkk) yang memang cenderung pula tidak memiliki gairah menulis dan menuangkan pemikirannya di media, atau mungkin suasana perguruan tinggi (perkulihan) yang membangun suasana hegemoni tertentu demi kepentingan tertentu, sehingga membuat mahasiswanya menjadi tidak memiliki kesadaran kritis. Dan sudah dapat dipastikan tempat yang demikian hanya dihuni oleh kaum inteligensia yang ngambang, atau sengaja dibuat ngambang oleh sistem yang diberlakukan. Sesuai dengan pendapatnya Arthur Marwick yakni “seseorang yang tidak mengenali sejarah lingkungannya dan siapa (kapasitas) dirinya termasuk individu yang ngambang”.
Kebangkitan gairah menulis kaum inteligensia (mahasiswa) dalam menuangkan segala bentuk pemikirannya merupakan awal dari kemajuan. Awal sebuah kefleksibelan perguruan tinggi yang selalu bersemangat futuristis. Ini patut diperjuangkan, pasalnya perkembangan demi perkembangan zaman memerlukan penyeimbangan ide, konsepsi, karya, dan paradigma. Jika bukan kita kaum inteligensia yang melakukan penyeimbangan tersebut, siapa lagi yang memperjuangkan ini semua. Ingatlah kaum inteligensia (intelektual) adalah kaum atau individu yang dikaruniai bakat merepesentasi, mengekspresikan, serta mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi, ungkap Edward W. Said dalam Peran Intelektual.
***
Kebebasan Berpikir
Meskipun bangsa ini belum menghargai kebebasan (normatif) berpikir sepenuhnya, dan khalayak telah memahami bahwa kebebasan berpikir harganya cukup mahal di sini, oleh sebab itu janganlah momok ini dijadikan satu-satunya hambatan untuk kaum inteligensia urung dalam menuangkan penemuan dan pemikiran-pemikiran lewat tulisan.
Abaikanlah pendapat Nietzche mengenai menulis dengan darah! (dalam Thus Spake Zarathustra) menurut saya, selagi kita masih memiliki dua tangan yang dapat digerakkan, dan otak yang menampung segala ketidaktahuan serta kejanggalan, maka sebenarnya telah lahir luapan-lupan kecil yang menuntut untuk dieksperiskan, direpresentasikan, diartikulasikan, dan dituliskan.
Penulis adalah penikmat seni
Alumnus FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia
(Unsil).
Label: Artikel