Jumat, 12 Juni 2009

Mari Menulis

KEMARAU GAIRAH MENULIS
DI KALANGAN MAHASISWA

Oleh Bode Riswandi

Kemalangan luar biasa ketika di beberapa surat kabar lokal pun non-lokal, (sedikit) tidak ada mahasiswa yang bergiat menulis. Padahal perguruan-perguruan tinggi menumpuk di Tasikmalaya. Apa gerangan yang terjadi di dunia permahasiswaan Tasikmalaya? Apakah ini semua disebabkan oleh virus budaya konsumtif yang telah memakubumi di benak mahasiswa. Jika benar betapa betahnya kaum inteligensia berkubang dalam kedangkalan.
Kebutuhan menulis bagi kaum inteligensia merupakan kebutuhan primer. Dengan menyadari posisinya sebagai penyeimbang gerakan sosial, serta sebagai individu yang bersiap di garda depan menghantam segala bentuk penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat yang mengatasnamakan rakyat, maka calon inteligensia perlu melakukan gerakan-gerakan guna menghantam penyimpangan itu. Tapi ingat gerakan yang murni. Tanpa mengandung unsur ketebelece dan embel-embel di belakangnya. Soe bilang, “kaum intelegensia yang berdiam diri di saat situasi sosial mulai tak terkendali, ia telah melunturkan nilai-nilai kemanusiaan”. Juga Edward W. Said mengatakan “dosa besar seorang intelektual adalah ketika ia tahu apa yang semestinya dikatakan, tetapi ia menghindar. Ia tidak pernah boleh mau mengabdi kepada mereke yang berkuasa”.
Gerakan kaum intelegensia tak harus mengidentikan diri dengan melakukan long march ke jalan-jalan. Mengibarkan spanduk dan poster-poster yang berisi kecaman. Sehingga bahasanya lebih mudah akrab dengan bahasa pentungan, dan berakhir dengan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan. Sehingga pada akhirnya berujung saling menyalahkan, dan saling balik tuduh. Selalu saja demikian.
Cara-cara lain seperti katalog underground, opinion publik, polemik wacana dapat juga menjadi alternatif perjuangan kaum intelegensia. Cara ini selain juga dapat menyuarakan penuntutan keadilan, merupakan pula cara hemat mengukur kapasitas dan kualitas pribadi. Karena kaum intelegensia selalu memiliki perhitungan cukup matang ke arah sana.
Menyadari kemacetan gairah menulis yang menimpa kaum inteligensia ini, jika diidentifikasi adalah bagian dari faktor turun-temurun (guru, dosen, mentor, dkk) yang memang cenderung pula tidak memiliki gairah menulis dan menuangkan pemikirannya di media, atau mungkin suasana perguruan tinggi (perkulihan) yang membangun suasana hegemoni tertentu demi kepentingan tertentu, sehingga membuat mahasiswanya menjadi tidak memiliki kesadaran kritis. Dan sudah dapat dipastikan tempat yang demikian hanya dihuni oleh kaum inteligensia yang ngambang, atau sengaja dibuat ngambang oleh sistem yang diberlakukan. Sesuai dengan pendapatnya Arthur Marwick yakni “seseorang yang tidak mengenali sejarah lingkungannya dan siapa (kapasitas) dirinya termasuk individu yang ngambang”.
Kebangkitan gairah menulis kaum inteligensia (mahasiswa) dalam menuangkan segala bentuk pemikirannya merupakan awal dari kemajuan. Awal sebuah kefleksibelan perguruan tinggi yang selalu bersemangat futuristis. Ini patut diperjuangkan, pasalnya perkembangan demi perkembangan zaman memerlukan penyeimbangan ide, konsepsi, karya, dan paradigma. Jika bukan kita kaum inteligensia yang melakukan penyeimbangan tersebut, siapa lagi yang memperjuangkan ini semua. Ingatlah kaum inteligensia (intelektual) adalah kaum atau individu yang dikaruniai bakat merepesentasi, mengekspresikan, serta mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap dan filosofi, ungkap Edward W. Said dalam Peran Intelektual.
***


Kebebasan Berpikir
Meskipun bangsa ini belum menghargai kebebasan (normatif) berpikir sepenuhnya, dan khalayak telah memahami bahwa kebebasan berpikir harganya cukup mahal di sini, oleh sebab itu janganlah momok ini dijadikan satu-satunya hambatan untuk kaum inteligensia urung dalam menuangkan penemuan dan pemikiran-pemikiran lewat tulisan.



Abaikanlah pendapat Nietzche mengenai menulis dengan darah! (dalam Thus Spake Zarathustra) menurut saya, selagi kita masih memiliki dua tangan yang dapat digerakkan, dan otak yang menampung segala ketidaktahuan serta kejanggalan, maka sebenarnya telah lahir luapan-lupan kecil yang menuntut untuk dieksperiskan, direpresentasikan, diartikulasikan, dan dituliskan.

Penulis adalah penikmat seni
Alumnus FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia
(Unsil).

Label: